BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Karya sastra merupakan cerminan masyarakat, budaya dan adat istiadat
masyarakat setempat yang sangat mempengaruhi alur cerita suatu karya sastra.
Selain itu, karya sastra juga digunakan sebagai media untuk menyampaikan
aspirasi yang dikemas dengan bahasa yang menarik serta indah. Melalui karya
sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang
sendiri ikut di dalamnya.[1]
Dalam
sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra
prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam
utama). Genre puisi mempunyai ragam: puisi lirik, syair, pantun, dan
sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi
sendiri.[2]
Genre puisi
merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda yang minimal seperti
kosakata, bahasa kiasan, di antaranya: personifikasi, simile, metafora, dan
metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi dalam
sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan: bahasa
kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya.[3]
Disamping itu ada juga konvensi ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsense atau juga konvensi visual yang berhubungan dengan puisi tersebut.
Dalam
dunia islam salah satu karya Abu Nuwas yang paling terkenal adalah Al-i’tiraf. Ia merupakan salah satu penyair dari Timur Tengah yang hidup
pada masa bani Abasyiyah, tepatnya ketika dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid. Selain
al-i’tiraf masih banyak lagi syair-syair karyanya yang muncul pada masa itu.
Namun al-i’tiraf inilah yang masih masyhur hingga dewasa kini. Syair ini berisi
tentang ungkapan-ungkapan Abu Nuwas yang ia tunjukkan pada Tuhannya. Bagaimana ia mengakui tentang
dosa-dosanya yang begitu banyak hingga tak bisa dihitung, dosa-dosanya yang
setiap hari bertambah, dan ungkapan tobat pada Tuhannya. Semua ungkapan itu ia
tuangkan dalam bahasa yang indah dan bernilai seni dengan beberapa bait syair.
Selain terkenal sebagai seorang
penyair Abu Nuwas juga terkenal sebagai sosok orang yang banyak memberikan
nasihat-nasihat kepada orang lain. Ia dikenal sebagai seorang yang humoris,
maka tidak jarang ia dipanggil oleh raja ke istananya untuk dimintai pendapat
atau sekedar berbincang-bincang. Namun dari sekian banyak sifat-sifat baiknya
itu ia memiliki kebiasan yang buruk di mata orang-orang yaitu suka
meminum-minuman keras.
Dalam
tulisan ini nantinya akan dipaparkan analisis tentang syair al-i’tiraf dengan
pendekatan Riffaterre. Menurut Riffaterre butuh beberapa tahapan pembacaan
untuk bisa memahami suatu karya sastra, yaitu pemahaman heuristik, hermeneutik,
dan matriks. Pendekatan ini sangat cocok untuk menganalisis sebuah puisi atau syair.
Melalui tahap-tahap inilah nantinya syair al-i’tiraf ini akan dianalisis.
Pembacaan heuristik yaitu kritikus harus memahami kata per kata
dari puisi itu, dalam hal ini biasa disebut dengan konvensi bahasa. Jadi
pembacaan heuristik ini kritikus harus membedah atau mengartikan kata dalam puisi
tersebut secara leksikal. Sedangkan
pembacaan herumenetik adalah kritikus dituntut untuk memahami hakikat makna
dalam puisi tersebut atau biasa disebut dengan konvensi sastra. Dalam pembacaan
heurmenetik seorang kritikus harus memahami makna konotatif dalam puisi
tersebut.
Dalam
menganalisis karya sastra ( puisi atau syair ) matriks diabstraksikan berupa
satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana (Salam,
2009:7). Matriks berupa hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat
sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks merupakan motor atau generator sebuah
teks.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
peneliti merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
kandungan makna puisi tersebut berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik
?
2.
Bagaimana
matrik dan model yang terdapat dalam syair puisi tersebut ?
3.
Bagaimana
hubungan intertekstual yang terdapat dalam syair puisi tersebut ?
Bunyi teks al-I’tiraf
karya Abu Nuwas.
إلهي لست للفردوس أهلا ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي توبة واغفر ذنوبي فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبي مثل أعداد الرمال فهب لي توبة يا ذا الجلال
وعمري ناقص في كل يوم وذنبي زائد
كيف احتمال
إلهي عبدك العاصي أتاك مقرا بالذنوب وقد دعاك
وإن تغفر فأنت لذاك أهل وإن تطرد فمن نرجو سواك
Al-I’tiraf
Ilahii lastu lil-Firdausi ahlaa Wa laa aqwa ‘alaa naari al-Jahimi
Fahabli
taubatan waghfir dzunuubi Fa-inna-ka ghaafiru al-Dzanbi al-Adhimi
Dzunubii
mistlu a’adaadi al-Rimali Fahabli
taubatan ya dza al-Jalaali
Wa ‘umri naqisun
fi kulli yaumin Wa dzunubi
zaidun kaifa ihtimali
Ilahi
‘abduka al-Aashi ataa-ka Muqarran
bi al-Dzunubi wa qad da’aaka
Wa in taghfir fa-anta lidzaa-ka ahlun Wa in tadrud fa-man narju siwaa-ka
Pengakuan
Tuhanku
aku bukanlah penghuni surga dan aku tidak kuat diatas neraka jahim
Dan berilah
untukku taubat dan ampunilah dosaku
maka sesunguhnya engkau pemberi ampun dosa yang besar
Dosaku
seperti bilangan pasir maka
ampunilah taubat wahai dzat yang mempunyai keagungan
Dan
umurku berkurang setiap hari
sedangkan dosaku bertambah bagaimana (aku) menanggung
Tuhanku
hambamu yang bermaksiat telah datang kepadamu dengan mengakui segala dosa dan dia telah
memohon kepadamu
Dan
jika engkau mengampuni maka engkau penguasa untuk hal-hal itu dan jika engkau menolak maka kepada siapa
kami memohon selain engkau
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pembacaan Heuristik
إلهي لست للفردوس أهلا ولا
أقوى على نار الجحيم
الإعتراف Al-i’tiraf berari sebuah pengakuan. Pengakuan ini bisa dilakaukan oleh siapa pun,
entah lakai-laki, perempuan, satu orang, banyak orang, tua, muda, sendiri, atau
kelempok.
إلهي Ilahy (Tuhanku) merupakan
ungkapan si aku (dlamir ya) orang tunggal, bisa laki-laki atau pun
perempuan. Ungkapan ini diucapkan oleh aku yang ditujukan kepada Tuhannya ( Ilah
).لست Lastu (aku bukanlah)
menunjukkan bahwa aku bukanlah dari anggota sesuatu atau tidak berhak akan
sesuatu. للفردوس Lilfirdausi (atas syurga Firdaus
atau untuk syurga Firdaus ). Syurga Firdaus merupakan syurga dengan derajat
paling tinggi dibandingkan dengan syurga-syurga lainnya. Dari sini diketahui
bahwa aku bukanlah anggota dari syurga Firdaus atau tidak berhak akan syurga
Firdaus, tapi belum diketahui yang dimaksudkan dari anggota atau ketidak berhakkannya
akan syurga Firdaus itu dalam posisi apa. أهلا Ahlan memiliki banyak arti,
bisa berarti keluarga, penduduk, warga, pantas, dan layak. Dalam kalimat ini
lebih cocok diartikan sebagai penghuni. Diketahui sudah bahwa aku merasa
tidaklah pantas sebagai pengghuni syurga.
و Wa ( dan ) merupakan
kata sambung. Aku masih ingin mengungkapkan sesuatu kepada Tuhannya. لا La (bukan atau tidak). أقوى Aqwa (aku kuat, mampu,
kuasa dan sanggup. على ‘Alaa (atas atau di atas). نار الجحيم Naril jahimi (neraka Jahim)
merupakan neraka dengan derajat paling rendah. Jadi aku bermaksud menambahi,
selain ia tidak panta sebagai penghuni syurga ia juga tidak kuat sebagai
penghuni neraka Jahim.
فهب لي توبة واغفر ذنوبي فإنك
غافر الذنب العظيم
ف Fa (maka, bisa juga
lalu, atau kemudian). Ini merupakan sebuah kata sambung untuk memberikan
jawaban dari sebuah sayarat. Syarat yang dimaksud adalah ungkapan pada bait
pertama. هب Hab ( berilah ) merupakan
bentuk kata perintah atau permintaan, dalam hal ini karena ditujukkan kepada
dzat yang lebih tinggi derajatnya maka disebut sebagai doa. لي Li ( untukku ), untuk aku. توبة Taubatan ( taubat ), inilah
bentuk jawaban dari syarat di atas. و Wa ( dan ) kata sambung.
اغفر Ighfir ( ampunilah) ungkapan
permintaan yang kedua setelah hab. ذنوبي Dzunuubii ( dosa-dosaku ) bentuk permintaan dari kata ighfir. Aku mengungkapkan dua permintaan kepada
Tuhannya yaitu taubat dan ampunan.
ف Fa ( maka) merupakan
kata sambung yang kedua untuk memberikan sebuah jawaban dari sayarat yang
pertama ( bait pertama ). إنك Innaka (sesungguhnya Engkau)
yang dimaksud adalah Tuhannya penyar. غافر Ghaafirun (pemberi ampunan)
kata tersebut berbentuk tunggal yang mengindikasikan bahwa hanya Dialah
satu-satun-Nya. Ghaafirun ini disambung dengan kata الذنب adz-dzanbu ( dosa ) sehingga
menjadi sebuah kesatuan kata yang dalam kaidah bahasa Arabnya disebut idlafah.
Adz-dzambu sebagai mudlaf dan ghaafir menjadi mudlaf
ilaih. العظيم Al-‘adziimi ( yang besar, yang agung ) merupakan keterangan atau sifat dari adz-dzambu.
ذنوبي مثل أعداد الرمال فهب
لي توبة يا ذا الجلال
ذنوبي Dzunuubii (dosaku), yang dimaksud adalah dosa si aku. Aku akan menjelaskan tentang dosanya, bisa
jumlahnya atau bentuknya. مثل Mitslu (seperti, semisal, atau bagaikan). Aku
akan mengumpamakan dosanya seperti sesuatu, yaitu seperti أعداد a’daadi ( bilangan ) yang
berarti sebuah kumpulan lebih dari satu hingga tak terhingga jumlahnya. الرمال Ar-rimaali berarti pasir. Aku
menggambarkn dosanya sejumlah pasir yang mengindikasikan dosanya begitu banyak
hingga tak terhitung jumlahnya. Bagaimana ia
memposisikan dirinya begitu rendah dihadapan Tuhannya, namun itu semua dilakukan
semata-mata untuk memperoleh belas kasih Tuhannya.
ف Fa (maka) jawaban dari
sayarat dzunuubii pada bait ketiga ini.هب Hab (berilah) sebuah kata perintah atau permohonan. لي Lii ( kepadaku ) yang dimaksud adalah kepada si aku. توبة Taubatan ( taubat ) bentuk
tunggal dan umum ( nakirah). يا Ya (wahai) dalam kaidah Arabnya ( nahwu ) disebut dengan nida. ذا Dzaa (pemilik) merupakan yang meguasai akan sesuatu, memiliki akan sesuatu,
sesuatu yang ada dalam dzat-Nya. Sesuatu tersebut ialah الجلال al-jalaali ( keagungan ).
وعمري ناقص في كل يوم وذنبي
زائد كيف احتمال
و Wa (dan), di sini
menunjuk perihal dirinya. عمري ‘Umrii (umurku, usiaku) dimaksudkan pada umur si aku. ناقص Naaqisun (kurang, tidak cukup, atau tidak komplit). في Fii (di dalam). كل يوم Kulli yaumin ( setiap hari ).
و Wa (sedangkan) masih
menunjuk perihal dirinya. ذنبي Dzanbii (dosaku) dimaksudkan pada dosa si aku. زائد Zaaidun (bertambah). كيف Kaifa (bagaimana) merupakan bentuk pertanyaan. Ini dilakukan karena aku
merasa kebingungan akan perihal dirinya. احتمال Ihtimaali (menanggung, memikul,
membawa, atau menahan).
إلهي عبدك العاصي أتاك مقرا
بالذنوب وقد دعاك
إلهي Ilaahii (Tuhanku) dimaksudkan
untuk membuka ungkapan baru setelah ungkapan yang pertama (ilaahii pada
bait pertama). عبدك ‘Abduka (hamba, seseorang
yang tak berdaya, tidak memiliki hak apa pun, hanya bisa pasrah menunggu
perintah dari majikannya). Apa pun yang akan terjadi nantinya tergantung pada
majikannya. العاصي Al-‘aashii (yang telah berbuat
maksiat, dosa, kesalahan) dimaksudkan aku bahwa ia telah meninggalkan
perintah-perintah ilaah-nya. أتاك Ataaka (datang kepada-Mu )
sebuah bentuk menghadirkan sesuatu yang ada pada dirinya entah itu jiwa atau raga kepada sesuatu yang dituju.
مقرا Muqirran ( seraya mengakui ). بالذنوب Bi al-Dzunuubi (dengan
dosa-dosa) bentuk jamak dari kata dzambun, ini menjelaskan aku yang datang
kepada Tuhannya , bisa jiwa atau raganya, mengakui dirinya dengan apa adanya
yang telah banyak berbuat dosa. و Wa (dan), si aku ingin
menambahi sesuatu dari kata sebelumnya. قد Qad (benar-benar) merupakan sebuah penguatan atau dalam istilah nahwunya
disebut taukid jika masuk pada fiil madli, yang berarti sebuah kesungguhan,
kebenaran yang terjadi, atau kepastian akan sesuatu. دعاك Da’aaka (memohon kepada-Mu).
وإن تغفر فأنت لذاك أهل وإن
تطرد فمن نرجو سواك
و Wa (dan).إن In (jika) merupaka sebuah sayarat. Aku
mengandaikan apa yang akan terjadi pada akhirnya. تغفر Taghfir (Engkau mengampuni) merupakan bentuk pengandaian yang pertama. فأنت Fa anta (maka Engkaulah) merupakan jawaban dari sayarat in. لذاك Lidzaaka (untuk -hal- itu).
Maksud dari hal itu adalah ampunan. أهل Ahlun (keluarga, penduduk, warga, pantas, dan layak). Berarti dzat yang
memiliki atau menguasai sesuatu dan pantas akan ampunan.
و Wa (dan).إن In (jika) merupakan
sebuah sayarat. Lagi-lagi si aku mengungkapkan pengandaian apa yang akan
terjadi nantinya. تطرد Tathrud ( Engkau menolak )
merupakan bentuk pengandai yang kedua. فمن Fa man (maka kepada siapa) adalah jawaban dari syarat in yang kedua.نرجو Narjuu (kami mengharap) yang dimaksud adalah harapan aku seorang. سواك Siwaaka (selain Engkau).
2.
Pembacaan Hermeneutik
Sebagaimana telah
ditegaskan pada pemahaman teori semiotik Riffaterre bahwa makna yang didapat
dari hasil pembacaan level pertama, heuristik, belum memadahi karena belum
memberikan sebuah pemahaman yang memusat yang menggambarkan sebuah kesatuan
struktur. Oleh karena itu, pembacaan kedua, hermeneutik, menjadi penting untuk
dapat menemukan kesatuan struktur makna puisi tersebut.[5]
Pembacaan hermeneutik
ini pun dilakukan secara struktural. Menurut Riffaterre (dalam Faruk, 1996: 29)
dilakukan bergerak bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian
dan seterusnya. Hasil yang diperoleh dari pembacaan atas kalimat pertama puisi
di atas, misalnya, dapat direvisi, diulas kembali, setelah proses pembacaan
berlangsung ke bagian berikutnya dan dengan masukan dari hasil pembacaan atas
bagian yang kemudian tersebut.[6]
2.1 Hipogram Potensial
Al-I’tiraf
sebagai judul puisi ini di indikasikan bahwa seorang penulis sedang mengakui
atas dosa-dosa yang diperbuat. Pada bait
pertama syair ini dijumpai adanya oposisi biner yaitu antara Firdaus dan
Jahim. Diketahui Syurga Firdaus memiliki derajat tertinggi dan neraka
Jahim berderajat terendah. Bait pertama ini menunjukkan bahwa si aku ingin
memposisikan dirinya bukan sebagai orang termulia bukan juga orang terhina. Di
sini si aku begitu cerdik, si aku merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang
paling tinggi derajatnya di sisi Tuhannya yang pantas sebagai penghuni syurga
Firdaus, tetapi ia juga tidak mau jika ia adalah orang yang paling hina yang
pantas masuk ke dalam neraka Jahim. Seolah-olah si aku memohon kepada Tuhannya
seandainya ia tidak pantas sebagai penghuni syurga Firdaus, setidaknya ia bisa
menjadi penghuni syurga yang ada setingkat di bawah syurga Firdaus. Begitu juga
ia tidak mau menjadi penghuni neraka Jahim. Jika ia harus masuk neraka
setidaknya ia masuk ke dalam neraka yang tidak lebih rendah derajatnya
dibanding neraka Jahim. Bisa digambarkan antara syurga Firdaus dan neraka Jahim
adalah ujung dan pangkal.
Di dalam
bait pertama belum diketahui mengapa si aku merasa tidak
pantas untuk menjadi penghuni syurga Firdaus dan tidak pula mau menjadi
penghuni neraka Jahim. Hal ini baru bisa diketahui pada bait selanjutnya.
Pada bait kedua sudah diketahui mengapa si aku merasa tidak pantas
menjadi penghuni syurga Firdaus begitu juga ia tidak ingin masuk ke dalam
neraka Jahim. Pada bait yang kedua ini si aku menjelaskan hal tersebut, mengapa
si aku merasa tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus karena ia telah
berbuat dosa ( az-dzanbu ) dan mengapa ia tidak ingin masuk ke dalam
neraka Jahim karena ia telah memohon ampunan ( taubatun ).
Pada bait kedua ini tidak dijelaskan
bagaimana cara si aku bertaubat. Cara taubat tersebut baru dijelaskan pada bait kelima.
Di dalam
bait keempat meneruskan penggambaran perihal diri si aku yang telah dimulai
pada bait ketiga. Pada bait ini aku merasa sadar diri akan posisinya sebagai
makhluk yang tidak abadi. Hal ini terlihat pada kata umrii yang bisa
diartikan sebuah timer dari kehidupan. Jika umur itu telah habis maka
berakhirlah hidupnya. Setelah aku sadar akan kefanaannya lalu ia merasa
kebingungaan, apa yang harus ia perbuat pada dirinya yang memiliki banyak dosa.
Pad bait kelima merupakan
penjelasan dari bait kedua tentang cara aku bertaubat. Hal yang dilakukan si aku
dalam bertaubat yaitu dengan cara datang menghadap Tuhannya entah itu jiwa,
raga atau keduanya seraya mengakui apa adanya dirinya yang begitu banyak
memilliki dosa, diakhiri dengan permohonan ampunan yang tulus.
Pada bait terakhir menjelaskan
tentang bentuk kepasrahan si
aku kepada Tuhannya sebagai seorang hamba dengan berbagai kemungkinan
yang akan terjadi. Apakah ia akan diampuni atau tidak. Namun ia juga bingung
jika ia tidak diberi ampunan, karena hanya Tuhan-Nyalah yang bisa memberi
ampunan.
2.2
Model, Matriks dan Hipogram Aktual.
Dalam hipogram potensial diatas sudah ditemukan kejelasan makna satu
kesatuan antar bait yang ada. Pada bait pertama si tokoh aku memposisikan
dirinya di hadapan tuhannya dengan mengungkapkan bahwa dirinya tidak pantas
untuk masuk kedalam syurga Firdaus dan juga tidak mau menjadi penghuni neraka Jahim.
Pada bait pertama belum diketahui mengapa si aku merasa tidak pantas
untuk menjadi penghuni syurga Firdaus dan tidak pula mau menjadi penghuni
neraka Jahim. Hal ini baru bisa diketahui pada bait selanjutnya yaitu pada bait
kedua dan ketiga, si aku mengungkapkan hal itu dikarenakan di
merasa dosanya begitu amat sangat banyak yang digambarkan seperti buih pasir
yang ada di lautan kemudian dilanjutkan dengan cara si aku bertaubat. Pada bait
keempat, si aku khawatir akan umur yang setiap hari berkurang meskipun
pada umumnya orang bahwa umur itu setiap hari bertambah namun disini si penyair
mengungkapkan dengan kata ناقص dan (sedangkan) dia sadar bahwa dosanya setiap hari terus bertambah.
Disini ditemukan oposisi biner juga bahwa untuk umur si penyair menggunakan
kata ناقص sedangkan untuk dosa si penyair menggunakan
kata زائد. Pada bait kelima, si aku
mejelaskan cara bertaubat dengan Tuhannya dan sebagai penjelas pada bait kedua
dan ketiga. Pada bait terakhir, si aku merasa takut jika taubatnya tidak
diterima oleh tuhannya karena hanya kepada tuhannyalah dia meminta ampunan
(taubat).
Makna yang telah di dapat ini belum utuh di karenakan belum ada satu
kesatuan yang menjadi pusatnya yang disebut matrik. Matrik
inilah yang akan mempersatukan pasangan oposisional yang ada dalam puisi yang
menjadi dasar berbagai hubungan ekuivalensi antarnya. Sebelum matrik, perlu
dipilih model. Model adalah tanda yang monumental dari puisi ini dan dia hadir
secara tekstual. Model inilah yang akan menuntun pembaca menemukan matriknya.[7]
Dalam analisis penulis model yang di dapat dalam puisi ini yaitu pada
bait keempat وذنبي زائد كيف احتمال وعمري ناقص في كل
يوم yaitu faqrah yang pertama dan faqrah yang kedua.
Faqrah yang pertama adalah pernyataan “ dan umurku berkurang setiap hari” dan
faqrah yang kedua” sedangkan dosaku bertambah dan bagaimana (aku)
menanggungnya” dengan bait yang pertama ولا أقوى على نار الجحيم أهلا إلهي لست للفردوس yaitu faqrah yang pertama dan faqrah yang
kedua. Faqrah yang pertama adalah pernyataan “ (wahai) Tuhanku aku bukanlah
penghuni (syurga) Firdaus” dan faqrah yang kedua “dan aku tudak kuat di dalam
neraka jahim”
Matriks puisi yang kemudian bisa didapat adalah “harapan seorang hamba”.
Gagasan tentang harapan seorang hamba ini lah yang menjadi inti yang menjiwai
seluruh bunyi puisi tersebut. Ini bisa di lihat karena keterkaitan antara bait
yang satu dan bait yang lain.
Hipogram aktual yang melatar belakangi terbentuknya matrik ini sesuai
dengan kejadian Nabi Yunus ketika di lahap oleh ikan paus yang diceritakan
dalam al-Quran pada surat al-Anbiya’ ayat 87 "
وذالنون
إذذهب مغاضبا فظن ان لن نقدر عليه فنادى فى الظلمات ان لااله الا انت سبحانك انى
كنت من الظالمين " artinya: “dan zun nun (nabi Yunus) ketika ia
pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan
mempersempitnya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “bahwa tidak
ada tuhan selain engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang
dhalim”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
puisi Al-I’tiraf karangan Abu Nuwas bisa di analisis dengan teori
Semiotik Riffatere, yang dapat di simpulkan sebagai berikut:
1.
Dalam pembacaan heuristik disana tidak begitu kesulitan karena puisi
tersebut sudah masyhur di kalangan umat islam.
2.
Dalam hipogram potensial diatas sudah ditemukan kejelasan makna satu
kesatuan antar bait yang ada. Mulai dari bait pertama sampai bait keenam.
Makna
yang telah di dapat mulai dari pembacaan heuristik belum utuh di karenakan
belum ada satu kesatuan yang menjadi pusatnya yang disebut matrik. Matrik
inilah yang akan mempersatukan pasangan oposisional yang ada dalam puisi yang
menjadi dasar berbagai hubungan ekuivalensi antarnya. Sebelum matrik, perlu
dipilih model. Model adalah tanda yang monumental dari puisi ini dan dia hadir
secara tekstual. Model inilah yang akan menuntun pembaca menemukan matriknya.
3.
Dalam analisis penulis model yang di dapat dalam puisi ini yaitu pada
bait keempat yaituوذنبي زائد كيف احتمال وعمري ناقص في كل
يوم dengan bait yang pertama
yaitu
ولا أقوى على نار
الجحيم أهلا إلهي لست للفردوس.
4.
Dari model tersebut dapat menghasilkan
matrik puisi, yaitu “harapan seorang hamba”.
5.
Hipogram aktual yang didapat sesuai dengan kejadian Nabi Yunus ketika di
lahap oleh ikan paus yang diceritakan dalam al-Quran pada surat al-Anbiya’ ayat
87 yang artinya: : “dan zun nun (nabi Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan
marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya, maka ia menyeru
dalam keadaan yang sangat gelap, “bahwa tidak ada tuhan selain engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Asnawi H. Abdullah Zaini D, Evergreen Qasidah (kumpulan syair
hikmah), Cet I. (Lamongan: Gemah Suara Pesantren, 2005).
Jabrohim , Teori Penelitian Sastra, cet.5 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012).
Latifi Nasrul Yulia, analisis puisi Ana karya Nazik al-Malaikah
dengan teori Semiotik Riffater.
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya, cet. 8 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Suroso, Teori Metode, dan Aplikasi Kritik Sastra, Cet I, (Yogyakarta:
Elmatera Publishing, 2009).
[1] Suroso, Teori
Metode, dan Aplikasi Kritik Sastra, Cet I, (Yogyakarta: Elmatera Publishing,
2009), hlm. 103.
[2] Rachmat Djoko
Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, cet. 8
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Hlm.121.
[4] Judul dalam kumpulan
qasidah tidak disebutkan judul diambil dari beberapa artikel yang ada di
internet .
[5] Dalam analisisis teori
semiotika Riffatere puisi Ana karya Nazik Al-Malaikah oleh Yulia Nasrul
Latifi, hal.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar