Sabtu, 09 April 2016

Analisis puisi Al-i'tiraf Karya Abu Nawas


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
        Karya sastra merupakan cerminan masyarakat, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang sangat mempengaruhi alur cerita suatu karya sastra. Selain itu, karya sastra juga digunakan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi yang dikemas dengan bahasa yang menarik serta indah. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya.[1]
            Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam utama). Genre puisi mempunyai ragam: puisi lirik, syair, pantun, dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.[2]
            Genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda yang minimal seperti kosakata, bahasa kiasan, di antaranya: personifikasi, simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi dalam sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya.[3] Disamping itu ada juga konvensi ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense atau juga konvensi visual yang berhubungan dengan puisi tersebut.
            Dalam dunia islam salah satu karya Abu Nuwas yang paling terkenal adalah Al-i’tiraf. Ia merupakan salah satu penyair dari Timur Tengah yang hidup pada masa bani Abasyiyah, tepatnya ketika dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid. Selain al-i’tiraf masih banyak lagi syair-syair karyanya yang muncul pada masa itu. Namun al-i’tiraf inilah yang masih masyhur hingga dewasa kini. Syair ini berisi tentang ungkapan-ungkapan Abu Nuwas yang ia tunjukkan  pada Tuhannya. Bagaimana ia mengakui tentang dosa-dosanya yang begitu banyak hingga tak bisa dihitung, dosa-dosanya yang setiap hari bertambah, dan ungkapan tobat pada Tuhannya. Semua ungkapan itu ia tuangkan dalam bahasa yang indah dan bernilai seni dengan beberapa bait syair.
            Selain terkenal sebagai seorang penyair Abu Nuwas juga terkenal sebagai sosok orang yang banyak memberikan nasihat-nasihat kepada orang lain. Ia dikenal sebagai seorang yang humoris, maka tidak jarang ia dipanggil oleh raja ke istananya untuk dimintai pendapat atau sekedar berbincang-bincang. Namun dari sekian banyak sifat-sifat baiknya itu ia memiliki kebiasan yang buruk di mata orang-orang yaitu suka meminum-minuman keras.
Dalam tulisan ini nantinya akan dipaparkan analisis tentang syair al-i’tiraf dengan pendekatan Riffaterre. Menurut Riffaterre butuh beberapa tahapan pembacaan untuk bisa memahami suatu karya sastra, yaitu pemahaman heuristik, hermeneutik, dan matriks. Pendekatan ini sangat cocok untuk menganalisis sebuah puisi atau syair. Melalui tahap-tahap inilah nantinya syair al-i’tiraf ini akan dianalisis.
Pembacaan heuristik yaitu kritikus harus memahami kata per kata dari puisi itu, dalam hal ini biasa disebut dengan konvensi bahasa. Jadi pembacaan heuristik ini kritikus harus membedah atau mengartikan kata dalam puisi tersebut secara leksikal. Sedangkan pembacaan herumenetik adalah kritikus dituntut untuk memahami hakikat makna dalam puisi tersebut atau biasa disebut dengan konvensi sastra. Dalam pembacaan heurmenetik seorang kritikus harus memahami makna konotatif dalam puisi tersebut.
Dalam menganalisis karya sastra ( puisi atau syair ) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks berupa hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks merupakan motor atau generator sebuah teks.

B.     Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, peneliti merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kandungan makna puisi tersebut berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik ?
2.      Bagaimana matrik dan model yang terdapat dalam syair puisi tersebut ?
3.      Bagaimana hubungan intertekstual yang terdapat dalam syair puisi tersebut ?

Bunyi teks al-I’tiraf karya Abu Nuwas.
                                              الإعتراف[4]
إلهي لست للفردوس أهلا                  ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي توبة واغفر ذنوبي               فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبي مثل أعداد الرمال                             فهب لي توبة يا ذا الجلال
وعمري ناقص في كل يوم                 وذنبي زائد كيف احتمال
إلهي عبدك العاصي أتاك                     مقرا بالذنوب وقد دعاك
وإن تغفر فأنت لذاك أهل                              وإن تطرد فمن نرجو سواك

                                                      
Al-I’tiraf
 Ilahii lastu lil-Firdausi ahlaa                   Wa laa aqwa ‘alaa naari al-Jahimi
Fahabli taubatan waghfir dzunuubi          Fa-inna-ka ghaafiru al-Dzanbi al-Adhimi
Dzunubii mistlu a’adaadi al-Rimali          Fahabli taubatan ya dza al-Jalaali
Wa ‘umri naqisun fi kulli yaumin             Wa dzunubi zaidun kaifa ihtimali
Ilahi ‘abduka al-Aashi ataa-ka                Muqarran bi al-Dzunubi wa qad da’aaka
Wa in taghfir fa-anta lidzaa-ka ahlun     Wa in tadrud fa-man narju siwaa-ka

Pengakuan
Tuhanku aku bukanlah penghuni surga        dan aku tidak kuat diatas neraka jahim
Dan berilah untukku taubat dan ampunilah dosaku     maka sesunguhnya engkau pemberi ampun dosa yang besar
Dosaku seperti bilangan pasir             maka ampunilah taubat wahai dzat yang mempunyai keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari             sedangkan dosaku bertambah bagaimana (aku) menanggung
Tuhanku hambamu yang bermaksiat telah datang kepadamu     dengan mengakui segala dosa dan dia telah memohon kepadamu
Dan jika engkau mengampuni maka engkau penguasa untuk hal-hal itu     dan jika engkau menolak maka kepada siapa kami memohon selain engkau


BAB II
PEMBAHASAN
1.       Pembacaan Heuristik
إلهي لست للفردوس أهلا             ولا أقوى على نار الجحيم
      الإعتراف Al-i’tiraf berari sebuah pengakuan. Pengakuan ini bisa dilakaukan oleh siapa pun, entah lakai-laki, perempuan, satu orang, banyak orang, tua, muda, sendiri, atau kelempok.
      إلهي Ilahy (Tuhanku) merupakan ungkapan si aku (dlamir ya) orang tunggal, bisa laki-laki atau pun perempuan. Ungkapan ini diucapkan oleh aku yang ditujukan kepada Tuhannya ( Ilah ).لست Lastu (aku bukanlah) menunjukkan bahwa aku bukanlah dari anggota sesuatu atau tidak berhak akan sesuatu. للفردوس Lilfirdausi (atas syurga Firdaus atau untuk syurga Firdaus ). Syurga Firdaus merupakan syurga dengan derajat paling tinggi dibandingkan dengan syurga-syurga lainnya. Dari sini diketahui bahwa aku bukanlah anggota dari syurga Firdaus atau tidak berhak akan syurga Firdaus, tapi belum diketahui yang dimaksudkan dari anggota atau ketidak berhakkannya akan syurga Firdaus itu dalam posisi apa. أهلا    Ahlan memiliki banyak arti, bisa berarti keluarga, penduduk, warga, pantas, dan layak. Dalam kalimat ini lebih cocok diartikan sebagai penghuni. Diketahui sudah bahwa aku merasa tidaklah pantas sebagai pengghuni syurga.
      و Wa ( dan ) merupakan kata sambung. Aku masih ingin mengungkapkan sesuatu kepada Tuhannya. لا La (bukan atau tidak). أقوى Aqwa (aku kuat, mampu, kuasa dan sanggup. على ‘Alaa  (atas atau di atas). نار الجحيم Naril jahimi (neraka Jahim) merupakan neraka dengan derajat paling rendah. Jadi aku bermaksud menambahi, selain ia tidak panta sebagai penghuni syurga ia juga tidak kuat sebagai penghuni neraka Jahim.
فهب لي توبة واغفر ذنوبي           فإنك غافر الذنب العظيم
      ف Fa (maka, bisa juga lalu, atau kemudian). Ini merupakan sebuah kata sambung untuk memberikan jawaban dari sebuah sayarat. Syarat yang dimaksud adalah ungkapan pada bait pertama. هب Hab ( berilah ) merupakan bentuk kata perintah atau permintaan, dalam hal ini karena ditujukkan kepada dzat yang lebih tinggi derajatnya maka disebut sebagai doa. لي  Li ( untukku ), untuk aku. توبة Taubatan ( taubat ), inilah bentuk jawaban dari syarat di atas. و Wa ( dan ) kata sambung. اغفر Ighfir ( ampunilah) ungkapan permintaan yang kedua setelah hab. ذنوبي Dzunuubii ( dosa-dosaku )  bentuk permintaan dari kata ighfir.  Aku mengungkapkan dua permintaan kepada Tuhannya yaitu taubat dan ampunan.
      ف Fa ( maka) merupakan kata sambung yang kedua untuk memberikan sebuah jawaban dari sayarat yang pertama ( bait pertama ). إنك Innaka (sesungguhnya Engkau) yang dimaksud adalah Tuhannya penyar. غافر Ghaafirun (pemberi ampunan) kata tersebut berbentuk tunggal yang mengindikasikan bahwa hanya Dialah satu-satun-Nya. Ghaafirun ini disambung dengan kata الذنب adz-dzanbu ( dosa ) sehingga menjadi sebuah kesatuan kata yang dalam kaidah bahasa Arabnya disebut idlafah. Adz-dzambu sebagai mudlaf dan ghaafir menjadi mudlaf ilaih. العظيم Al-‘adziimi ( yang besar, yang agung ) merupakan keterangan atau sifat dari adz-dzambu.
ذنوبي مثل أعداد الرمال               فهب لي توبة يا ذا الجلال
      ذنوبي  Dzunuubii (dosaku), yang dimaksud adalah dosa si aku. Aku  akan menjelaskan tentang dosanya, bisa jumlahnya atau bentuknya. مثل Mitslu (seperti, semisal, atau bagaikan). Aku  akan mengumpamakan dosanya seperti sesuatu, yaitu seperti أعداد a’daadi ( bilangan ) yang berarti sebuah kumpulan lebih dari satu hingga tak terhingga jumlahnya.  الرمال Ar-rimaali berarti pasir. Aku menggambarkn dosanya sejumlah pasir yang mengindikasikan dosanya begitu banyak hingga tak terhitung jumlahnya. Bagaimana ia  memposisikan dirinya begitu rendah dihadapan Tuhannya, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk memperoleh belas kasih Tuhannya.
      ف Fa (maka) jawaban dari sayarat dzunuubii pada bait ketiga ini.هب  Hab (berilah) sebuah kata perintah atau permohonan. لي  Lii ( kepadaku ) yang dimaksud adalah kepada si aku. توبة Taubatan ( taubat ) bentuk tunggal dan umum ( nakirah). يا  Ya (wahai) dalam kaidah Arabnya ( nahwu ) disebut dengan nida. ذا Dzaa (pemilik) merupakan yang meguasai akan sesuatu, memiliki akan sesuatu, sesuatu yang ada dalam dzat-Nya. Sesuatu tersebut ialah الجلال al-jalaali ( keagungan ).
وعمري ناقص في كل يوم            وذنبي زائد كيف احتمال
       و Wa (dan), di sini menunjuk perihal dirinya. عمري ‘Umrii (umurku, usiaku) dimaksudkan pada umur si aku. ناقص  Naaqisun (kurang, tidak cukup, atau tidak komplit). في Fii (di dalam). كل يوم Kulli yaumin ( setiap hari ).
      و Wa (sedangkan) masih menunjuk perihal dirinya. ذنبي Dzanbii (dosaku) dimaksudkan pada dosa si aku. زائد  Zaaidun (bertambah). كيف Kaifa (bagaimana) merupakan bentuk pertanyaan. Ini dilakukan karena aku merasa kebingungan akan perihal dirinya. احتمال Ihtimaali (menanggung, memikul, membawa, atau menahan).
إلهي عبدك العاصي أتاك               مقرا بالذنوب وقد دعاك
      إلهي    Ilaahii (Tuhanku) dimaksudkan untuk membuka ungkapan baru setelah ungkapan yang pertama (ilaahii pada bait pertama). عبدك ‘Abduka (hamba, seseorang yang tak berdaya, tidak memiliki hak apa pun, hanya bisa pasrah menunggu perintah dari majikannya). Apa pun yang akan terjadi nantinya tergantung pada majikannya. العاصي Al-‘aashii (yang telah berbuat maksiat, dosa, kesalahan) dimaksudkan aku bahwa ia telah meninggalkan perintah-perintah ilaah-nya. أتاك Ataaka (datang kepada-Mu ) sebuah bentuk menghadirkan sesuatu yang ada pada dirinya entah itu  jiwa atau raga kepada sesuatu yang dituju.
      مقرا  Muqirran ( seraya mengakui ).  بالذنوب Bi al-Dzunuubi (dengan dosa-dosa) bentuk jamak dari kata dzambun, ini menjelaskan aku yang datang kepada Tuhannya , bisa jiwa atau raganya, mengakui dirinya dengan apa adanya yang telah banyak berbuat dosa. و Wa (dan), si aku ingin menambahi sesuatu dari kata sebelumnya. قد  Qad (benar-benar) merupakan sebuah penguatan atau dalam istilah nahwunya disebut taukid jika masuk pada fiil madli, yang berarti sebuah kesungguhan, kebenaran yang terjadi, atau kepastian akan sesuatu. دعاك Da’aaka (memohon kepada-Mu).
وإن تغفر فأنت لذاك أهل               وإن تطرد فمن نرجو سواك
      و Wa (dan).إن  In (jika) merupaka sebuah sayarat. Aku  mengandaikan apa yang akan terjadi pada akhirnya. تغفر  Taghfir (Engkau mengampuni) merupakan bentuk pengandaian yang pertama. فأنت  Fa anta (maka Engkaulah) merupakan jawaban dari sayarat in. لذاك Lidzaaka (untuk -hal- itu). Maksud dari hal itu adalah ampunan. أهل  Ahlun (keluarga, penduduk, warga, pantas, dan layak). Berarti dzat yang memiliki atau menguasai sesuatu dan pantas akan ampunan.
      و Wa (dan).إن  In (jika) merupakan sebuah sayarat. Lagi-lagi si aku mengungkapkan pengandaian apa yang akan terjadi nantinya. تطرد  Tathrud ( Engkau menolak ) merupakan bentuk pengandai yang kedua. فمن  Fa man (maka kepada siapa) adalah jawaban dari syarat in yang kedua.نرجو  Narjuu (kami mengharap) yang dimaksud adalah harapan aku seorang.  سواك Siwaaka (selain Engkau).
2.      Pembacaan Hermeneutik
Sebagaimana telah ditegaskan pada pemahaman teori semiotik Riffaterre bahwa makna yang didapat dari hasil pembacaan level pertama, heuristik, belum memadahi karena belum memberikan sebuah pemahaman yang memusat yang menggambarkan sebuah kesatuan struktur. Oleh karena itu, pembacaan kedua, hermeneutik, menjadi penting untuk dapat menemukan kesatuan struktur makna puisi tersebut.[5]
Pembacaan hermeneutik ini pun dilakukan secara struktural. Menurut Riffaterre (dalam Faruk, 1996: 29) dilakukan bergerak bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian dan seterusnya. Hasil yang diperoleh dari pembacaan atas kalimat pertama puisi di atas, misalnya, dapat direvisi, diulas kembali, setelah proses pembacaan berlangsung ke bagian berikutnya dan dengan masukan dari hasil pembacaan atas bagian yang kemudian tersebut.[6]
2.1      Hipogram Potensial

Al-I’tiraf sebagai judul puisi ini di indikasikan bahwa seorang penulis sedang mengakui atas dosa-dosa yang diperbuat. Pada bait pertama syair ini dijumpai adanya oposisi biner yaitu antara Firdaus dan Jahim. Diketahui Syurga Firdaus memiliki derajat tertinggi dan neraka Jahim berderajat terendah. Bait pertama ini menunjukkan bahwa si aku ingin memposisikan dirinya bukan sebagai orang termulia bukan juga orang terhina. Di sini si aku begitu cerdik, si aku merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhannya yang pantas sebagai penghuni syurga Firdaus, tetapi ia juga tidak mau jika ia adalah orang yang paling hina yang pantas masuk ke dalam neraka Jahim. Seolah-olah si aku memohon kepada Tuhannya seandainya ia tidak pantas sebagai penghuni syurga Firdaus, setidaknya ia bisa menjadi penghuni syurga yang ada setingkat di bawah syurga Firdaus. Begitu juga ia tidak mau menjadi penghuni neraka Jahim. Jika ia harus masuk neraka setidaknya ia masuk ke dalam neraka yang tidak lebih rendah derajatnya dibanding neraka Jahim. Bisa digambarkan antara syurga Firdaus dan neraka Jahim adalah ujung dan pangkal.
Di dalam bait pertama belum diketahui mengapa si aku merasa tidak pantas untuk menjadi penghuni syurga Firdaus dan tidak pula mau menjadi penghuni neraka Jahim. Hal ini baru bisa diketahui pada bait selanjutnya.
Pada bait kedua sudah diketahui mengapa si aku merasa tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus begitu juga ia tidak ingin masuk ke dalam neraka Jahim. Pada bait yang kedua ini si aku menjelaskan hal tersebut, mengapa si aku merasa tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus karena ia telah berbuat dosa ( az-dzanbu ) dan mengapa ia tidak ingin masuk ke dalam neraka Jahim karena ia telah memohon ampunan ( taubatun ).
      Pada bait kedua ini tidak dijelaskan bagaimana cara si aku bertaubat. Cara taubat tersebut baru dijelaskan pada bait kelima.
      Di dalam bait keempat meneruskan penggambaran perihal diri si aku yang telah dimulai pada bait ketiga. Pada bait ini aku merasa sadar diri akan posisinya sebagai makhluk yang tidak abadi. Hal ini terlihat pada kata umrii yang bisa diartikan sebuah timer dari kehidupan. Jika umur itu telah habis maka berakhirlah hidupnya. Setelah aku sadar akan kefanaannya lalu ia merasa kebingungaan, apa yang harus ia perbuat pada dirinya yang memiliki banyak dosa.
      Pad bait kelima merupakan penjelasan dari bait kedua tentang cara aku bertaubat. Hal yang dilakukan si aku dalam bertaubat yaitu dengan cara datang menghadap Tuhannya entah itu jiwa, raga atau keduanya seraya mengakui apa adanya dirinya yang begitu banyak memilliki dosa, diakhiri dengan permohonan ampunan yang tulus.
      Pada bait terakhir menjelaskan tentang bentuk kepasrahan si aku kepada Tuhannya sebagai seorang hamba dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Apakah ia akan diampuni atau tidak. Namun ia juga bingung jika ia tidak diberi ampunan, karena hanya Tuhan-Nyalah yang bisa memberi ampunan.

2.2      Model, Matriks dan Hipogram Aktual.

Dalam hipogram potensial diatas sudah ditemukan kejelasan makna satu kesatuan antar bait yang ada. Pada bait pertama si tokoh aku memposisikan dirinya di hadapan tuhannya dengan mengungkapkan bahwa dirinya tidak pantas untuk masuk kedalam syurga Firdaus dan juga tidak mau menjadi penghuni neraka Jahim. Pada bait pertama belum diketahui mengapa si aku merasa tidak pantas untuk menjadi penghuni syurga Firdaus dan tidak pula mau menjadi penghuni neraka Jahim. Hal ini baru bisa diketahui pada bait selanjutnya yaitu pada bait kedua dan ketiga, si aku mengungkapkan hal itu dikarenakan di merasa dosanya begitu amat sangat banyak yang digambarkan seperti buih pasir yang ada di lautan kemudian dilanjutkan dengan cara si aku bertaubat. Pada bait keempat, si aku khawatir akan umur yang setiap hari berkurang meskipun pada umumnya orang bahwa umur itu setiap hari bertambah namun disini si penyair mengungkapkan dengan kata ناقص dan (sedangkan) dia sadar bahwa dosanya setiap hari terus bertambah. Disini ditemukan oposisi biner juga bahwa untuk umur si penyair menggunakan kata ناقص  sedangkan untuk dosa si penyair menggunakan kata زائد. Pada bait kelima, si aku mejelaskan cara bertaubat dengan Tuhannya dan sebagai penjelas pada bait kedua dan ketiga. Pada bait terakhir, si aku merasa takut jika taubatnya tidak diterima oleh tuhannya karena hanya kepada tuhannyalah dia meminta ampunan (taubat).
Makna yang telah di dapat ini belum utuh di karenakan belum ada satu kesatuan yang menjadi pusatnya yang disebut matrik. Matrik inilah yang akan mempersatukan pasangan oposisional yang ada dalam puisi yang menjadi dasar berbagai hubungan ekuivalensi antarnya. Sebelum matrik, perlu dipilih model. Model adalah tanda yang monumental dari puisi ini dan dia hadir secara tekstual. Model inilah yang akan menuntun pembaca menemukan matriknya.[7]
Dalam analisis penulis model yang di dapat dalam puisi ini yaitu pada bait keempat وذنبي زائد كيف احتمال      وعمري ناقص في كل يوم  yaitu  faqrah yang pertama dan faqrah yang kedua. Faqrah yang pertama adalah pernyataan “ dan umurku berkurang setiap hari” dan faqrah yang kedua” sedangkan dosaku bertambah dan bagaimana (aku) menanggungnya” dengan bait yang pertama ولا أقوى على نار الجحيم    أهلا إلهي لست للفردوس yaitu faqrah yang pertama dan faqrah yang kedua. Faqrah yang pertama adalah pernyataan “ (wahai) Tuhanku aku bukanlah penghuni (syurga) Firdaus” dan faqrah yang kedua “dan aku tudak kuat di dalam neraka jahim”                
Matriks puisi yang kemudian bisa didapat adalah “harapan seorang hamba”. Gagasan tentang harapan seorang hamba ini lah yang menjadi inti yang menjiwai seluruh bunyi puisi tersebut. Ini bisa di lihat karena keterkaitan antara bait yang satu dan bait yang lain.
Hipogram aktual yang melatar belakangi terbentuknya matrik ini sesuai dengan kejadian Nabi Yunus ketika di lahap oleh ikan paus yang diceritakan dalam al-Quran pada surat al-Anbiya’ ayat 87 " وذالنون إذذهب مغاضبا فظن ان لن نقدر عليه فنادى فى الظلمات ان لااله الا انت سبحانك انى كنت من الظالمين "  artinya: “dan zun nun (nabi Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “bahwa tidak ada tuhan selain engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim”.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam puisi Al-I’tiraf karangan Abu Nuwas bisa di analisis dengan teori Semiotik Riffatere, yang dapat di simpulkan sebagai berikut:
1.      Dalam pembacaan heuristik disana tidak begitu kesulitan karena puisi tersebut sudah masyhur di kalangan umat islam.
2.      Dalam hipogram potensial diatas sudah ditemukan kejelasan makna satu kesatuan antar bait yang ada. Mulai dari bait pertama sampai bait keenam.
Makna yang telah di dapat mulai dari pembacaan heuristik belum utuh di karenakan belum ada satu kesatuan yang menjadi pusatnya yang disebut matrik. Matrik inilah yang akan mempersatukan pasangan oposisional yang ada dalam puisi yang menjadi dasar berbagai hubungan ekuivalensi antarnya. Sebelum matrik, perlu dipilih model. Model adalah tanda yang monumental dari puisi ini dan dia hadir secara tekstual. Model inilah yang akan menuntun pembaca menemukan matriknya.
3.      Dalam analisis penulis model yang di dapat dalam puisi ini yaitu pada bait keempat yaituوذنبي زائد كيف احتمال      وعمري ناقص في كل يوم  dengan bait yang pertama yaitu                                                 ولا أقوى على نار الجحيم       أهلا إلهي لست للفردوس.
4.      Dari model tersebut dapat menghasilkan matrik puisi, yaitu “harapan seorang hamba”.
5.      Hipogram aktual yang didapat sesuai dengan kejadian Nabi Yunus ketika di lahap oleh ikan paus yang diceritakan dalam al-Quran pada surat al-Anbiya’ ayat 87 yang artinya: : “dan zun nun (nabi Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “bahwa tidak ada tuhan selain engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim”.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Asnawi H. Abdullah Zaini D, Evergreen Qasidah (kumpulan syair hikmah), Cet I. (Lamongan: Gemah Suara Pesantren, 2005).
Jabrohim , Teori Penelitian Sastra, cet.5 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Latifi Nasrul Yulia, analisis puisi Ana karya Nazik al-Malaikah dengan teori Semiotik Riffater.
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, cet. 8 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Suroso, Teori Metode, dan Aplikasi Kritik Sastra, Cet I, (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2009).




[1] Suroso, Teori Metode, dan Aplikasi Kritik Sastra, Cet I, (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2009), hlm. 103.
[2] Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, cet. 8 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Hlm.121.
[3] Jabrohim , Teori Penelitian Sastra, cet.5 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Hlm. 94.
[4] Judul dalam kumpulan qasidah tidak disebutkan judul diambil dari beberapa artikel yang ada di internet .
[5] Dalam analisisis teori semiotika Riffatere puisi Ana karya Nazik Al-Malaikah oleh Yulia Nasrul Latifi, hal.15
[6] Ibid hal. 15
[7] Ibid hal.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar